Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 7 Agustus 2025.
Di antara hamparan hutan dan padang, setiap tetumbuhan menemukan takdirnya—ada yang menjulang sebagai pohon kelapa, ada pula yang merunduk sebagai rerumputan, bahkan ada yang bersembunyi sebagai lumut. Dalam rimba yang sama, singa mengejar, kambing merumput, dan cacing mengurai tanah. Tiap peran, tak peduli seberapa kecil, seberapa lemah, atau seberapa besar, adalah sebuah simfoni yang saling menyangga. Namun, mata manusia kerap terbutakan oleh ilusi ukuran, ilusi kekuatan, dan ilusi kekuasaan. Kita menciptakan panggung-panggung buatan yang membuat sebagian merasa lebih mulia, sementara alam semesta hanya mengenal satu bahasa: fungsi. Lantas, di mana letak kebijaksanaan yang sejati? Adakah pemahaman yang lebih dalam tentang "rantai makanan" yang tak kasat mata, yang mengatur bukan hanya dunia fisik, tetapi juga pikiran, perasaan, dan energi?
Secara sosiologis, kehidupan bermasyarakat dapat dipandang melalui lensa teori fungsionalisme struktural. Teori ini memandang bahwa "masyarakat bekerja seperti organisme hidup, di mana setiap bagiannya memiliki fungsi penting untuk menjaga harmoni keseluruhan" (Tirto.id, 2019). Setiap individu, kelompok, atau institusi, baik yang kuat maupun yang lemah, memainkan peran vital dalam menjaga stabilitas dan keseimbangan sosial. Tanpa konsumen, produsen kehilangan tujuan. Tanpa pengurai, ekosistem akan lumpuh. Demikian pula dalam masyarakat, kelompok yang "lemah" atau "miskin" seringkali mengisi fungsi-fungsi dasar yang menopang keberlanjutan strata di atasnya, seperti dalam ekonomi, sosial, dan politik.
Ide tentang strata atau hierarki sosial, meskipun seringkali dipandang negatif, juga dianggap sebagai bagian dari struktur fungsional masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Pitirim A. Sorokin, "stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang bertingkat" (repository.iainkudus.ac.id, n.d.), yang muncul karena tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak, kewajiban, dan tanggung jawab. Namun, dalam pandangan alam semesta, keberadaan strata ini tidaklah untuk mengagungkan yang di atas, melainkan untuk memastikan bahwa setiap bagian—dari yang terbesar hingga terkecil—memiliki tempat dan tugas untuk dijalankan, dengan kemuliaan yang setara. Yang kuat memanfaatkan yang lemah, bukan untuk penindasan, melainkan sebagai mekanisme untuk berjalannya sebuah sistem.
Manusia, secara kolektif, telah menciptakan "ilusi strata" yang menjadikan kelompok yang lebih kuat, lebih kaya, atau lebih pintar merasa lebih penting dan lebih mulia. Padahal, dari sudut pandang yang lebih luas, setiap individu, seberapa pun lemahnya, memiliki peran yang tak tergantikan dalam rantai kehidupan. "Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma, dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan dipenuhi" (repository.uinsa.ac.id, 2014), dan tanpa peran ini, sistem tidak akan berfungsi. Maka, alih-alih meratapi posisi kita dalam hierarki, kita seharusnya merayakan fungsi kita di dalamnya dengan kesadaran dan rasa kesetaraan.
Jadi, perbedaan ukuran, kekuatan, dan kekayaan bukanlah ukuran kebaikan atau keburukan, melainkan sebuah desain fungsional yang memastikan keberlanjutan kehidupan. Setiap orang—sekuat singa atau selemah cacing—adalah komponen esensial dalam ekosistem kehidupan. Kebaikan yang sejati bukanlah tentang menjadi yang terkuat, melainkan tentang menjalankan peran dengan sebaik-baiknya. Alam semesta tidak memuliakan yang kuat; ia hanya menempatkan setiap makhluk dalam fungsinya.
Maka, mari kita buang ilusi tentang strata yang membuat hati kita membusuk karena iri atau angkuh. Kita semua adalah mata rantai yang saling terkait, tak ada yang lebih mulia dari yang lain. Hati seekor singa dan hati seekor burung pipit sama berharganya dalam menjaga denyut kehidupan. Marilah kita belajar dari alam, bahwa sebuah peran kecil bukanlah kutukan, melainkan kehormatan. Karena sesungguhnya, kehidupan ini bukanlah tentang siapa yang lebih tinggi, melainkan tentang bagaimana setiap dari kita menjalankan fungsinya dengan penuh makna, dalam sebuah tarian abadi yang teratur dan sempurna.
Referensi:
• Repository.iainkudus.ac.id. (n.d.). Gambaran Umum Tentang Stratifikasi Sosial. Retrieved from http://repository.iainkudus.ac.id/4458/5/05%20BAB%20II.pdf
• Repository.uinsa.ac.id. (2014). STRATIFIKASI SOSIAL DALAM AL-QUR'AN. Retrieved from http://repository.uinsa.ac.id/1802/3/Abid%20Rohman_%20STRATIFIKASI%20SOSIAL%20DALAM%20AL-QUR%27AN.pdf
• Tirto.id. (2019). Teori Fungsionalisme Dalam Sosiologi: Pengertian dan Asalnya. Retrieved from https://tirto.id/apa-pengertian-teori-fungsionalisme-dalam-sosiologi-gikG
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header