Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 14 Juli 2025.
Dalam lanskap bisnis yang megah, perusahaan-perusahaan seringkali berupaya merajut rantai nilai mereka, dari hulu ke hilir, dalam sebuah tarian strategi yang dikenal sebagai “vertical integration”. Ia adalah sebuah ambisi untuk menguasai takdir produksi dan distribusi, menjanjikan efisiensi, kontrol kualitas, dan sinergi yang tak tertandingi. Namun, di balik janji-janji manis efisiensi dan kekuatan pasar, tersembunyi sebuah bayangan yang acap kali menari-nari dalam senyap: potensi “transfer pricing”. Ini adalah fenomena di mana transaksi antarunit dalam satu perusahaan dilakukan dengan harga yang tidak mencerminkan nilai pasar sesungguhnya (tidak wajar), berpotensi menggeser keuntungan dan mengikis basis pajak. “Vertical integration”, yang seharusnya menjadi pilar kekuatan, bisa menjelma menjadi labirin yang rumit, di mana keuntungan dialirkan bukan berdasarkan kinerja pasar, melainkan oleh strategi akuntansi yang cerdik untuk mengurangi beban pajak. Secara psikologis, potensi “transfer pricing” ini meningkat ketika suatu kelompok usaha tersebut adalah perusahaan keluarga, karena hambatan mental untuk bekerjasama memanipulasi harga menjadi rendah.
“Vertical integration” terjadi ketika sebuah perusahaan memperluas operasinya untuk mencakup tahap-tahap produksi atau distribusi yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan lain. "Motivasi utama di balik “vertical integration” adalah untuk mengurangi biaya transaksi, meningkatkan kontrol kualitas, mengamankan pasokan, dan menangkap margin keuntungan di berbagai tahapan rantai nilai," demikian analisis Porter (1980) dalam diskusinya tentang strategi kompetitif. Dengan menginternalisasi proses-proses ini, perusahaan berharap dapat mencapai efisiensi operasional dan keunggulan kompetitif.
Namun, struktur terintegrasi secara vertikal, secara inheren menciptakan kondisi yang matang untuk praktik “transfer pricing”. "“transfer pricing” terjadi ketika harga ditetapkan untuk barang dan jasa yang dipertukarkan antara entitas yang terkait dalam satu perusahaan, yang harga tersebut menyimpang dari harga yang akan dikenakan dalam transaksi arms-length (wajar) antara pihak-pihak independen," menurut definisi yang disepakati secara luas dalam literatur ekonomi dan perpajakan (OECD, 2017). Dalam perusahaan yang terintegrasi secara vertikal, divisi hulu menjual produk atau jasa ke divisi hilir, dan penetapan harga internal ini dapat dimanipulasi.
Potensi penyalahgunaan “transfer pricing” muncul karena adanya celah untuk mengurangi beban pajak dengan menciptakan “keuntungan secara berputar” melalui “biaya besar fiktif” (harga tak wajar) dari satu unit untuk memberikan keuntungan perpajakan yang lebih besar kepada unit lain. Biaya di satu unit nampak membesar akibat penetapan harga di atas kewajaran atas barang atau jasa yang dibeli melalui manipulasi harga secara bersama tersebut, namun unit lain menikmati harga jual dan keuntungan yang tinggi, dan secara kelompok korporasi pada saat yang sama terhindar dari tarif pajak yang lebih tinggi, sehingga secara agregat keuntungannya menjadi lebih tinggi daripada transaksi wajar. Atau dalam setting antar negara, "Perusahaan multinasional dapat memanfaatkan perbedaan tarif pajak korporasi antarnegara dengan menggeser keuntungan dari yurisdiksi dengan tarif pajak tinggi ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah melalui manipulasi harga transfer," demikian penjelasannya oleh Hines (2007) dalam penelitiannya tentang perilaku perusahaan multinasional dan pajak. Misalnya, sebuah unit produksi di negara A (tarif pajak tinggi) dapat "menjual" produk setengah jadi ke unit distribusi di negara B (tarif pajak rendah) dengan harga yang sangat rendah, sehingga laba unit produksi mengecil dan laba unit distribusi membesar. Ini secara legal mengurangi total beban pajak korporasi perusahaan secara global, namun merugikan negara-negara dengan tarif pajak tinggi.
“Vertical integration”, meskipun menjanjikan efisiensi dan kontrol yang lebih baik atas rantai nilai, secara simultan membuka pintu bagi potensi penyalahgunaan “transfer pricing”. Karakteristik transaksi intra-perusahaan dalam entitas terintegrasi secara vertikal menciptakan celah di mana harga dapat dimanipulasi untuk tujuan pengoptimalan pajak global. Hal ini menempatkan perusahaan multinasional dalam dilema etika dan menghadapi pengawasan ketat dari otoritas pajak di seluruh dunia yang berupaya memastikan keadilan dan integritas basis pajak nasional.
Dalam arena kapitalisme modern, di mana inovasi dan efisiensi adalah mantra, “vertical integration” adalah sebuah narasi tentang penguasaan. Namun, bayangan “transfer pricing” mengingatkan kita bahwa setiap strategi optimalisasi finansial memiliki sisi gelapnya, di mana batas antara kecerdasan bisnis dan eksploitasi bisa menjadi kabur. Ini adalah tarian rumit antara legalitas dan moralitas, antara mengoptimalkan keuntungan pemegang saham dan kewajiban terhadap masyarakat di mana keuntungan itu dihasilkan. Insight terpenting adalah: di balik kemegahan struktur korporasi yang terintegrasi, kita harus selalu waspada terhadap bagaimana nilai diciptakan dan dialokasikan, memastikan bahwa sinergi operasional tidak diiringi oleh pengikisan keadilan fiskal, karena pada akhirnya, fondasi perekonomian yang kuat haruslah dibangun di atas prinsip transparansi dan kontribusi yang adil.
Referensi:
Hines, J. R., Jr. (2007). Corporate taxation and international competition. In J. R. Hines Jr., R. Glenn Hubbard, & J. B. Shoven (Eds.), Tax policy and the economy (Vol. 21, pp. 29–64). MIT Press.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2017). OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations. OECD Publishing.
Porter, M. E. (1980). Competitive strategy: Techniques for analyzing industries and competitors. Free Press.
_______________________________
”MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header