Breaking News

INFLASI AKADEMIK DI INDONESIA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 21 Juli 2025.
Di negeri yang pernah menjunjung ilmu sebagai lentera jiwa, kini angka-angka akademik melambung seperti kabut yang menutupi wajah kejujuran. IPK 3,6 menjadi norma, cumlaude bukan lagi prestasi langka. “Ketika semua mahasiswa adalah bintang, maka tak ada lagi cahaya yang benar-benar bersinar”.  Dan, di balik parade toga dan transkrip, tersimpan sunyi yang tak terucap: apakah kita sedang menyaksikan kemerosotan makna dari pencapaian intelektual? “Inflasi IPK tidak serta-merta mencerminkan peningkatan moralitas, kecerdasan, maupun kemampuan inovasi bangsa” (Simarmata, 2025).

Lampiran gambar menunjukkan tren rata-rata IPK nasional mahasiswa Indonesia selama 30 tahun terakhir yang dikumpulkan dan disusun oleh penulis dengan menggunakan AI berdasarkan data estimatif dari berbagai sumber kampus besar (UGM, UNPAD, UI), publikasi lembaga pendidikan tinggi, Kemendikbudristek, dan media. Data tersebut menunjukkan bahwa selama 3 dekade ini IPK nasional mahasiswa Indonesia telah mengalami inflasi sebesar 38,49%.

Fenomena ini berakar dari sistem birokrasi pendidikan yang menempatkan angka sebagai indikator utama mutu institusi. “Akreditasi perguruan tinggi menuntut proporsi lulusan cumlaude sebagai syarat mempertahankan status unggul” (Gunawan, 2025). Akibatnya, dosen terdorong melonggarkan standar evaluasi, mahasiswa menuntut nilai tinggi sebagai hak, dan institusi berlomba mencetak lulusan berpredikat tinggi demi citra. “IPK menjadi alat administratif, bukan representasi kompetensi” (Anggono, 2025).

Konsekuensi dari inflasi akademik ini sangat nyata. “Perusahaan mulai skeptis terhadap IPK sebagai indikator kesiapan kerja” (Novianto, 2025). Survei FHCI menunjukkan bahwa banyak lulusan dengan IPK tinggi gagal dalam asesmen kompetensi dasar dan tes soft skill. Dunia kerja menuntut kemampuan berpikir kritis, komunikasi, dan adaptasi—bukan sekadar angka. “IPK tinggi tanpa keterampilan aplikatif menjadi kurang relevan di pasar tenaga kerja” (Matraji, 2025).

Lebih jauh lagi, inflasi gelar doktor dan profesor memperparah ilusi kemajuan. “Banyak doctor dan profesor baru tidak dikenal karyanya oleh komunitas ilmiah di bidangnya sendiri” (Gunawan, 2025). Ketika gelar dan jabatan akademik menjadi alat birokrasi dan ekonomi, bukan hasil dari perjalanan intelektual yang mendalam, maka pendidikan tinggi kehilangan arah. “Gelar akademik berisiko menjadi sekadar simbol status, tidak lagi mencerminkan kompetensi” (Pramudianto, 2025). Peningkatan dramatis jumlah doktor dan profesor ini pun faktanya juga tidak serta-merta mengangkat moralitas, kecerdasan, maupun kemampuan inovasi bangsa ini. Gelar-gelar ini sangat banyak yang hanya dijadikan sebagai pengungkit paksa untuk naik ke strata sosial dan ekonomi pribadi yang lebih tinggi, tanpa gairah keilmiahan sama sekali.

Inflasi akademik adalah gejala dari krisis nilai dalam sistem pendidikan. “Kenaikan rata-rata IPK nasional tidak berbanding lurus dengan indeks inovasi nasional maupun capaian iptek” (Arsendy, 2025). Pendidikan tinggi harus kembali pada esensinya: membentuk manusia yang berpikir jernih, berintegritas, dan mampu memberi kontribusi nyata. BAN-PT perlu meninjau ulang indikator akreditasi, dan kampus harus berani menegakkan standar evaluasi yang objektif dan bermakna.

Dan kini, di tengah badai angka IPK dan gelar, kita perlu bertanya: apakah kita sedang membangun peradaban pengetahuan, atau sekadar menumpuk simbol-simbol kosong? Di antara toga dan transkrip, semoga masih ada ruang bagi kejujuran intelektual, keberanian berpikir, dan kesediaan untuk tidak sekadar lulus, tetapi tumbuh. Karena pendidikan bukan hanya tentang angka yang tercetak, bukan sekedar ijazah dan gelar, melainkan tentang jiwa yang tercerahkan, jiwa yang dengan kejelasan mampu memandang dan memperlakukan kehidupan secara berbeda untuk kebaikan dan perbaikan dunia.

Referensi:
• Anggono, J. (2025). Alarm Inflasi IPK, Pengamat Soroti Fenomena Nilai Cumlaude Tapi Kompetensi Lulusan Diragukan. Nawacita.co
• Arsendy, S. (2025). Inflasi IPK Mahasiswa Indonesia: Siapa Diuntungkan, Siapa yang Tertinggal? The Conversation Indonesia
• Gunawan, A. (2025). Inflasi Profesor di Indonesia. Kompas.id
• Matraji, U. (2025). Fenomena Inflasi IPK: Antara Prestasi Akademik dan Krisis Standar Pendidikan Tinggi. Moralita.com
• Novianto, A. (2025). Fenomena Inflasi IPK: Antara Prestasi Akademik dan Krisis Mutu Pendidikan Tinggi. eNBe Indonesia
• Pramudianto, P. (2025). Inflasi Akademik. KRjogja.com
• Simarmata, L. K. (2025). Inflasi IPK di Indonesia, Antara Angka dan Mutu. Suara USU
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID