Breaking News

APA YANG TERSISA DARI MANUSIA YANG TAK AKAN DIAMBIL ALIH OLEH AI?


Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 22 Juli 2025.
Di tengah gemuruh revolusi digital yang tak henti, di mana algoritma dan data menjadi detak jantung peradaban, sebuah deklarasi mengguncang fondasi dunia kerja: Masayoshi Son, pendiri SoftBank, perusahaan multinasional asal Jepang yang berfokus pada investasi teknologi (OpenAI, Alibaba, Uber, WeWork, Uber, DoorDash, TikTok, NVIDIA dll), telekomunikasi, dan inovasi disruptif, menyatakan era pemrograman oleh manusia akan segera berakhir, setidaknya di perusahaannya. Ini bukan sekadar prediksi, melainkan sebuah proklamasi, sebuah janji tentang masa depan di mana kode bukan lagi untaian logika yang dirangkai jemari manusia, melainkan bisikan dari entitas cerdas yang tak kenal lelah. Kita berdiri di ambang gerbang era baru, di mana sang Dewa Seribu Tangan, kecerdasan buatan yang berpikir, belajar, dan memutuskan sendiri, akan bangkit, menantang hegemoni akal budi manusia dalam tarian penciptaan. "AI akan menjadi 10.000 kali lebih pintar dari manusia dalam 10 tahun ke depan” (Masayoshi Son dalam Data Monsters, 2024). Ini adalah drama besar tentang pergeseran takdir manusia, sebuah narasi yang mempertanyakan kembali makna kerja dan keberadaan kita.

Masayoshi Son telah secara tegas menyatakan bahwa era pemrograman oleh manusia akan segera berakhir. "Visi Son mencerminkan keyakinan radikal bahwa otomatisasi penuh melalui kecerdasan buatan bukan hanya efisiensi, melainkan sebuah keharusan strategis untuk mencapai skala dan kecepatan yang tak tertandingi dalam ekonomi digital," (Nakamoto, 2025). Deklarasi ini bukan hanya retorika, melainkan fondasi bagi rencana ambisius untuk menggantikan human coders dengan agen-agen AI canggih. Langkah ini menandai pergeseran paradigma dari AI sebagai alat bantu menjadi AI sebagai entitas otonom yang memimpin proses kerja.

Agen-agen AI yang dibayangkan Son memiliki kapabilitas yang melampaui sekadar penulisan kode. "Mereka dirancang untuk berpikir, belajar, dan membuat keputusan secara independen, bahkan mampu melakukan negosiasi, perencanaan, dan eksekusi tugas 24/7 tanpa henti, tanpa istirahat" (SoftBank Annual Report, 2025). Son menggambarkan agen-agen ini sebagai "Dewa Seribu Tangan," sebuah metafora yang menggambarkan kemampuan multifaset dan tak terbatas mereka. 

Dengan target ambisius untuk mengerahkan satu miliar agen AI pada akhir tahun 2025, SoftBank secara besar-besaran bertaruh investasi pada agen-AI sebagai masa depan pekerjaan. "Strategi ini menantang secara fundamental kebutuhan tradisional akan fungsi supervisi manusia dalam sektor teknologi, memposisikan AI bukan lagi sebagai pendukung, melainkan sebagai inti dari setiap operasi," (Chen & Lee, 2024). Setiap karyawan manusia direncanakan akan didukung oleh 1.000 agen AI, menciptakan ekosistem kerja di mana kolaborasi antara manusia dan mesin mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah eksperimen besar dalam redefinisi peran manusia dalam dunia korporat. 

Visi SoftBank yang radikal, di mana agen-agen AI canggih menggantikan peran manusia sebagai programer dan beroperasi secara otonom, menandai sebuah titik balik dalam evolusi dunia kerja dan hubungan manusia dengan teknologi. Ini adalah pertaruhan besar pada masa depan di mana efisiensi dan skala dicapai melalui kecerdasan buatan, menantang asumsi lama tentang supervisi dan peran sentral manusia dalam proses kreasi. Satu demi satu pekerjaan yang dahulu menandakan esensi manusia, kini dikuasai entitas tak bernyawa: kecerdasan buatan yang tak tidur, tak letih, dan tak pernah ragu. Di tengah euphoria perayaan teknologi, kita mungkin sedang kehilangan kebermaknaan. Seperti seekor burung yang terbang begitu tinggi hingga lupa rasa angin di bulunya, manusia kini berdiri di ambang redefinisi eksistensi. “Pergeseran peran manusia dalam lanskap kerja modern menuntut rekonstruksi nilai-nilai personal” (Aminuddin, 2024).

Maka, di tengah gemuruh laju kencangnya teknologi, terbentanglah sebuah pertanyaan mendalam tentang identitas dan kebermaknaan kita; masih adakah yang tersisa dari kemampuan manusia yang tak akan diambil alih oleh kecerdasan buatan? Jika mesin dapat melakukan apa yang selama ini kita anggap sebagai esensi "kerja", maka kita ditantang untuk menengok dan melongok kembali apa saja yang benar-benar membuat kita manusia, yakni; spiritualitas yang tak tergambarkan, kreativitas yang tak terduga, empati yang tak terukur, kebijaksanaan yang tak terbelenggu oleh logika, dan kemampuan untuk bermimpi melampaui algoritma. Ini adalah era di mana kita harus berani mendefinisikan ulang dan merekontekstualisasikan eksistensi dan nilai diri kita sebagai ras manusia di hadapan teknologi yang kecerdasannya akan segera jauh melampaui manusia.

Referensi:
• Aminuddin, I. (2024). Human Identity and Post-Technological Age. Yogyakarta: Pustaka Humanika.
• Chen, L., & Lee, J. (2024). Corporate AI strategy and the future of human-AI collaboration: A case study of leading tech firms. Journal of Business and Technology, 28(3), 112-130.
• Data Monsters. (2024, Juni 24). SoftBank's Masayoshi Son predicts artificial super intelligence within a decade: A visionary leap.
• Nakamoto, S. (2025). The Rise of the AI Economy: How Artificial Intelligence is Reshaping Global Industries. Global Tech Press.
• SoftBank Annual Report. (2025). Vision Fund and Strategic Investments in AI.
________________________________________
”MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID