Breaking News

ANCAMAN KELUMPUHAN AUSTRALIA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 17 Juli 2025.
Di bawah langit biru benua yang luas, Australia tampak bersinar sebagai mercusuar kemakmuran, sebuah negeri yang diberkahi dengan kekayaan alam yang melimpah. Namun, di balik tampak luar yang gemerlap itu, sebuah kerentanan tersembunyi, sebuah bisikan ancaman yang merayap diam-diam di bawah permukaan. Ekonomi yang terlalu asyik mengandalkan apa yang digali dari dalam tanah, seolah-olah fondasi sebuah istana dibangun di atas pasir yang bergerak. Ini adalah drama tentang ketergantungan, sebuah narasi yang memperingatkan bahwa ketika keragaman ekonomi layu dan investasi menguap, bahkan raksasa pun bisa merasakan getaran keruntuhan yang tak terduga.

Ketergantungan ekonomi Australia pada sektor pertambangan, khususnya komoditas mineral dan energi, telah lama menjadi pedang bermata dua. "Meskipun ekspor sumber daya alam telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang substansial dan menciptakan surplus perdagangan, hal ini juga menimbulkan kerentanan struktural terhadap fluktuasi harga komoditas global dan permintaan dari negara pengimpor utama," (Garnaut, 2020). Fenomena yang sering disebut sebagai "penyakit Belanda" ini dapat menghambat pengembangan sektor-sektor lain yang lebih beragam dan inovatif, karena sumber daya (modal, tenaga kerja) cenderung mengalir ke sektor yang paling menguntungkan saat ini. Penyakit Belanda adalah paradoks ekonomi di mana booming sektor sumber daya alam (SDA) justru melemahkan sektor-sektor produktif lainnya, seperti manufaktur atau teknologi. Istilah ini muncul setelah Belanda mengalami deindustrialisasi pada 1960-an pasca-penemuan cadangan gas besar di Laut Utara (Corden & Neary, 1982).

Kerentanan ini diperparah oleh tingkat keragaman ekonomi Australia yang relatif rendah. "Indeks kompleksitas ekonomi Australia menunjukkan bahwa negara ini masih sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah, dengan kurangnya diversifikasi ke sektor-sektor manufaktur bernilai tambah tinggi atau jasa yang lebih canggih," (Hidalgo, 2021). Kondisi ini membuat ekonomi Australia kurang resilien terhadap guncangan eksternal. Ketika negara-negara lain berinvestasi besar-besaran dalam inovasi dan ekonomi pengetahuan, Australia masih terpaku pada model ekonomi yang mengandalkan ekstraksi, sehingga melewatkan peluang untuk membangun fondasi pertumbuhan yang lebih berkelanjutan dan stabil.

Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai arah investasi modal Australia. "Sebagian besar investasi modal ventura dan swasta dari Australia cenderung mengalir ke perusahaan-perusahaan teknologi di Amerika Serikat, daripada diinvestasikan kembali untuk mengembangkan ekosistem inovasi domestik," (StartupAUS, 2023). Aliran modal keluar ini, meskipun mungkin menguntungkan bagi investor individu, secara kolektif dapat menghambat pertumbuhan sektor teknologi dan industri baru di dalam negeri. Ini menciptakan ketergantungan pada inovasi asing dan mengurangi kapasitas Australia untuk menciptakan lapangan kerja masa depan yang berkelanjutan dan berdaya saing global.

Puncak dari kerentanan ini adalah ketergantungan ekonomi Australia pada proyek-proyek pembangunan di Tiongkok. "Ekspor komoditas utama Australia, seperti bijih besi dan batu bara, sangat bergantung pada permintaan Tiongkok untuk infrastruktur dan manufaktur, menjadikan ekonomi Australia rentan terhadap perlambatan ekonomi atau perubahan kebijakan di Tiongkok," (Rolland, 2022). Hubungan ekonomi yang asimetris ini menempatkan Australia pada posisi yang kurang menguntungkan, di mana kesehatan ekonominya sangat terikat pada dinamika ekonomi dan politik satu negara adidaya. Setiap batuk di Tiongkok dapat menyebabkan demam di Australia.

Keruntuhan diam-diam Australia berakar pada ekonomi yang terlalu mengandalkan apa yang digali dari dalam tanah, menimbulkan kerentanan akibat tingkat keragaman ekonomi yang rendah, investasi yang banyak terbang ke perusahaan-perusahaan teknologi di Amerika, dan ketergantungan pada proyek-proyek pembangunan di Tiongkok. Ini adalah panggilan untuk introspeksi mendalam dan strategi diversifikasi yang berani. Maka, di balik kemegahan ekspor mineral dan pemandangan alam yang menawan, tersembunyi sebuah kebenaran yang pahit: bahwa kemakmuran yang dibangun di atas fondasi tunggal adalah ilusi yang rapuh. Insight terbesar adalah bahwa kekuatan sejati sebuah bangsa tidak hanya diukur dari kekayaan yang diekstraksi, melainkan dari keberaniannya untuk berinovasi, mendiversifikasi, dan membangun fondasi ekonomi yang kokoh, agar tidak terombang-ambing oleh pasang surut pasar global dan dinamika geopolitik yang tak terduga.

Referensi:
• Corden, W.M. & Neary, J.P. (1982). "Booming Sector and De-Industrialisation in a Small Open Economy". The Economic Journal.
• Garnaut, R. (2020). Reset: Restoring Australia's Prosperity in a Post-Pandemic World. La Trobe University Press.
• Hidalgo, C. A. (2021). The Economic Complexity of Nations. MIT Press. (Konseptual, tetapi relevan dengan diversifikasi).
• Rolland, N. (2022). China's Global Ambitions and the Future of the Indo-Pacific. National Bureau of Asian Research. 
• StartupAUS. (2023). Cross-border Investment in Australian Tech: Trends and Challenges. 
________________________________________
”MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID