Peran kolegium kedokteran dalam sistem pelayanan dan pendidikan kesehatan Indonesia telah menjadi titik tumpu penting dalam menjamin mutu dan profesionalisme tenaga medis. Kolegium, sebagai badan otonom yang dibentuk oleh organisasi profesi, selama dua dekade terakhir merumuskan dan menjaga standar kompetensi dokter dan dokter spesialis melalui pendekatan self-regulation.
Pengakuan formal terhadap entitas ini secara jelas dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa kolegium berperan dalam penyusunan kurikulum, penilaian kompetensi, dan sertifikasi profesional tenaga kesehatan.
Namun, paradigma hukum dan tata kelola kesehatan mengalami pergeseran signifikan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. UU ini mengadopsi pendekatan integratif dan sentralistik yang memosisikan negara sebagai aktor utama dalam pengaturan seluruh aspek sistem kesehatan nasional, termasuk pendidikan dan distribusi tenaga medis.
Keberadaan kolegium tidak lagi disebut secara eksplisit dalam batang tubuh UU ini, dan fungsi-fungsi teknisnya dipindahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan unit-unit teknis di bawah Kementerian Kesehatan. Pergeseran ini menimbulkan perdebatan normatif dan teoritis, khususnya dalam konteks legitimasi institusional, otonomi profesi, dan peran komunitas keilmuan dalam proses regulasi.
Dari perspektif filsafat hukum, transformasi ini dapat dibaca sebagai pergeseran dari sistem hukum yang mengakui pluralisme institusional menuju satu bentuk legal centralism. Dalam kerangka pemikiran John Searle dan Michael Polanyi, otonomi kolegium bukan sekadar persoalan administratif, melainkan bagian dari sistem epistemik yang menjaga integritas dan kontinuitas keilmuan.
Ketika fungsi-fungsi itu diserap sepenuhnya oleh negara, maka ada risiko terjadinya epistemic disempowerment, yakni peminggiran aktor-aktor profesi dalam menentukan standar kompetensinya sendiri.
Secara sosiologis, pendekatan self-regulation yang selama ini dianut oleh kolegium merepresentasikan karakteristik khas profesi, sebagaimana dikemukakan Eliot Freidson. Profesi bukan sekadar pekerja teknis, tetapi entitas sosial yang memiliki kewenangan moral dan keilmuan untuk mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian, pemusatan fungsi regulatif ke tangan negara dapat mengaburkan perbedaan antara profesi dan birokrasi, serta menghambat dinamika pengembangan keilmuan berbasis kebutuhan nyata di lapangan.
Meski demikian, argumentasi normatif dari negara juga tidak dapat diabaikan. Dalam kerangka negara kesejahteraan (welfare state), negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin akses, keadilan, dan mutu layanan kesehatan bagi seluruh warga.
Ketimpangan distribusi dokter spesialis, inefisiensi sistem pendidikan kedokteran, dan lemahnya akuntabilitas kolegium dalam beberapa kasus menjadi alasan pembenar bagi pendekatan transformasional ini. Dengan kata lain, transformasi peran kolegium merupakan respons atas kegagalan tata kelola lama yang dianggap terlalu elitis, fragmentatif, dan tertutup dari pengawasan publik dan inilah alasan pembenar penguasa.
Oleh karena itu, tantangan utama saat ini bukan sekadar mempertentangkan otonomi profesi dengan kontrol negara, tetapi merancang ulang tata kelola yang kooperatif dan deliberatif. Kolegium sebagai representasi komunitas profesi dan keilmuan tetap dibutuhkan dalam sistem nasional sebagai mitra strategis negara, bukan sebagai subordinat birokrasi. Model co-regulation, yang menempatkan negara dan profesi dalam posisi setara dalam ruang pengambilan keputusan berbasis bukti dan etika profesi, dapat menjadi titik temu yang adil dan fungsional.
Kesimpulan
Transformasi kolegium bukan sekadar perubahan kelembagaan, tapi refleksi atas pertarungan antara:
• Otonomi keilmuan vs kontrol birokratik
• Mutu individu vs keadilan sistemik
• Epistemologi profesi vs logika negara
Jalan pemecahannya tidak bisa bersifat dikotomis (pro negara atau pro profesi), melainkan harus dibangun secara inklusif dan deliberatif, dengan menjamin bahwa:
• Negara hadir sebagai pengarah sistem.
• Profesi hadir sebagai penjaga mutu.
• Publik hadir sebagai penerima manfaat dan pengontrol etis.
Jika jalan tengah ini diambil, Indonesia tidak hanya menyelesaikan konflik regulatif, tetapi juga membangun fondasi kuat bagi profesionalisme kesehatan yang berkeadilan dan berintegritas.
Baku Azerbaijan 28 Mei 2025
Prof Dr dr Abd Halim
Prof DR Suhendar SH,LLM
Editor Nofis Husin Allahdji
Social Header